Harapan Dalam Sketsa: Menggambarkan Masa Depan Diujung Kanvas — Desain Publikasi



Ada kalanya mimpi tidak hadir dalam bentuk kata, melainkan dalam garis-garis yang mengalir di kertas kosong — sunyi, tapi menyimpan semesta.

Aku adalah seorang siswi SMK jurusan Desain Komunikasi Visual. Di usia remaja yang masih rapuh namun penuh bara, aku melangkah ke dalam dunia baru. Dunia yang tidak bicara dengan angka, tetapi dengan warna. Inilah langkah awal dari perjalanan panjangku — menuju seni, menuju makna.
Aku percaya bahwa setiap manusia memiliki panggilan jiwa. Dan jiwaku terpanggil bukan untuk menjadi mesin yang bekerja, tapi menjadi jiwa yang berkarya. SMK jurusan DKV menjadi awal mula aku belajar bahwa visual bukan sekadar tampilan, melainkan pesan. Setiap poster, tipografi, dan ilustrasi adalah bisikan kecil dari keresahan, harapan, atau cinta yang ingin disampaikan.
Bukan hanya tentang menggambar, ini tentang berbicara — lewat bentuk, garis, tekstur, dan simbol. Di DKV aku menemukan bahasa baru. Bahasa yang bisa menjangkau mereka yang tak bisa dijangkau kata.

Dan di ujung lorong waktu ini, terbit sebuah nama dalam benakku: Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Sebuah candi modern bagi para pemuja seni. Di sanalah aku ingin menyempurnakan jiwaku. Bukan untuk menjadi terkenal. Bukan pula demi gengsi akademik. Tapi karena aku percaya bahwa seni — jika digarap dengan niat yang suci dan kesadaran filosofis — dapat menjadi sarana untuk menyelami kemanusiaan. Yogyakarta, kota dengan denyut nadi budaya dan aroma kopi yang menua bersama malam, menjadi tanah harapanku. Di bawah langitnya yang sering muram tapi puitis, aku ingin belajar, tumbuh, dan mungkin... berubah.

Seni mengajarkanku untuk sabar. Untuk menyentuh yang tak tampak. Untuk memandang hidup bukan sebagai masalah, tetapi sebagai bentuk. Untuk melihat luka sebagai tekstur, dan kehilangan sebagai ruang kosong yang bisa diisi cahaya.

Aku bermimpi suatu hari karyaku bukan hanya tergantung di galeri, tapi menempel di benak manusia. Aku ingin visual karyaku berbicara lebih jujur daripada pidato politik. Lebih dalam daripada berita. Aku ingin membentuk persepsi, menggerakkan empati, dan menanamkan harapan — lewat satu bingkai, satu goresan. Harapan ini bukan sekadar angan. Ia adalah jalan sunyi yang harus ditempuh dengan sabar. SMK ini adalah tanah semai, ISI Yogyakarta adalah taman yang kutuju, dan dunia adalah kanvas besar tempat aku akan menggambar mimpi.

Di titik ini, aku belum tahu akan jadi siapa. Desainer? Ilustrator? Dosen seni? Mungkin tidak satupun dari itu. Tapi satu hal pasti: aku ingin menjadi manusia yang utuh — yang hidup, merasa, dan mencipta.

Karena pada akhirnya, seperti kata Plato, "Seni bukan meniru dunia, tapi menyingkap kebenaran yang tersembunyi di baliknya."

0 Comments